Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mencatat terjadinya peningkatan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang periode 1-22 Januari 2018, di Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Sepanjang periode tersebut, setidaknya terjadi 15 kali karhutla dengan titik panas (hotspot) yang terdeteksi mencapai 41 titik di empat provinsi tersebut. Jumlah titik panas itu melonjak dua kali lipat dari periode sama pada tahun lalu, yakni di kisaran 17-23 titik panas.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar meminta seluruh pemangku kepentingan, khususnya di empat provinsi tadi, untuk meningkatkan kewaspadaan dengan mengintensifkan patroli pengawas kebakaran serta Satuan Tugas (Satgas) Karhutla.
“Status siaga darurat harus diangkat. Kemudian monitoring dan analisis hotspot tetap harus dilakukan. Personel harus disiagakan,” ucap Siti Nurbaya di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (24/1/2019).
Dari hasil penelusuran timnya di lapangan, kejadian karhutla di empat provinsi tadi umumnya akibat metode pembukaan lahan dengan cara dibakar oleh para petani, bukan perusahaan.
Siti mengakui masih ada masyarakat yang membuka lahan dengan cara membakar. Oleh karenanya, pihaknya memastikan proses pendampingan serta pelatihan untuk masyarakat akan terus dilakukan pihaknya bersama dengan tim Badan Restorasi Gambut (BRG).
Sebaliknya, menurut Siti saat ini banyak perusahaan yang mulai bertanggung jawab dengan lingkungan di sekitarnya. Sejumlah perusahaan sudah dilengkapi dengan sistem pemadaman yang didukung oleh regu pemadam kebakaran, alat pemantau, satelit, hingga kamera thermal.
Bahkan, saat ini perusahaan diwajibkan untuk ikut bertanggung jawab apabila ada kejadian kebakaran lahan dalam radius 3 sampai 5 kilometer (km) dari perkebunan mereka. Upaya restorasi gambut juga sedang dikerjakan.
Total lahan gambut yang sedang dalam proses pemulihan itu diklaim Siti telah mencapai hampir 1 juta hektare. “Jadi, lumayan lah berantem-berantem kemarin di pengadilan, hasilnya ada ketaatan,” sebut Siti.
Untuk diketahui, dalam beberapa tahun terakhir upaya penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi skala besar yang terbukti membuka lahan baru dengan cara pembakaran masif dilakukan pemerintah.
Sepanjang tiga tahun ke belakang, Kementerian LHK telah menyelesaikan 567 gugatan pidana terhadap perusahaan pembakar hutan.
Dari jumlah itu, 18 di antaranya telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap, sementara 132 lainnya diselesaikan melalui kesepakatan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Adapun nilai kemenangan dari gugatan yang dimenangkan mencapai Rp18,3 triliun.
Selain jumlah titik api yang bertambah, Kementerian LHK juga mencatat adanya peningkatan luasan lahan yang terbakar. Per 2018, jumlah lahan yang terbakar mencapai 500 ribu hektare. Luasan itu lebih banyak ketimbang 2017 yang mencapai 165,5 ribu hektare, dan 2016 sebesar 400 ribu hektare.
Begitu juga dengan titik panasnya. Per 2018, jumlahnya tercatat sebanyak 9.245 titik, melampaui 2017 dengan 2.440 titik dan 2016 dengan 3.844 titik.
Siti melihat kenaikan luasan lahan yang terbakar sebagai fluktuasi titik panas. Kendati ada kenaikan, Siti menekankan bahwa dari tahun ke tahun, metode penanganan kebakarannya membaik.
“Melihatnya seperti ini, setiap kali ada yang terbakar, langsung dimatikan. Jadi asapnya nggak ada. Sistem itu yang harus dikerjakan dengan baik,” tukas Siti.
Catatan Kementerian LHK menunjukkan, selama tahun 2018, patroli karhutla telah dilakukan pada 1.645 desa di Sumatera dan Kalimantan, serta 113 desa di Jawa, Sulawesi dan Papua.
Operasi pemdaman api melalui darat dilakukan sebanyak 16.496 kali, dan didukung 54 unit pesawat helikopter untuk water bombing. Upaya untuk mendeteksi titik panas juga dilakukan menggunakan sistem pada kamera thermal.
Bersama dengan masyarakat setempat, tim Kementerian LHK juga telah membangun 3.930 kanal-kanal air, sementara 9.592 lainnya dibangun oleh swasta. Ada juga 4.896 unit sumur bor yang dibangun oleh pemerintah dan 9.592 lainnya oleh swasta.
Kepala Badan Restorasi Gambut ( BRG) Nazir Foead mengklaim bahwa pembuatan sekat kanal sangat efektif dalam merestorasi lahan gambut sekaligus meminimalisasi titik api.
“Kami sudah analisis betul, apabila sudah terbangun di satu titik, sampai radius 2 km dari titik itu, titik api minimal sekali dibandingkan dengan di luar radius 2 km (sekat kanal),” ujar Nazir, saat dijumpai di tempat yang sama.
Sesuai dengan target yang diberikan pemerintah pusat, pembuatan sekat kanal akan terus dilakukan hingga mencakup keseluruhan luasan lahan gambut yang ada–sekitar 2 juta hektare.
“Itu (kanal dan embung) tujuannya untuk pembasahan gambut. Karena hal yang paling prinsip dalam tata kelola gambut adalah bagaimana memelihara dan menjaga gambut tetap basah,” tandasnya.