Lelaki 39 tahun ini hanya bisa mengelus dada. Tatapannya sering kosong. Maklum, saban saat leasing sudah menelepon lantaran kredit mobilnya menunggak.
Sebelumnya, Eni Rosadi tak pernah kewalahan urusan cicilan. Soalnya saban bulan dia bisa mengantongi duit Rp17,28 juta dari hasil panen 6 hektar kebun kelapa sawitnya di Pematangreba Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, yang sudah berumur 12 tahun.
Tapi dua bulan belakangan malapteka datang. Tengkulak langganannya mengatakan bahwa Tandan Buah Segar (TBS) hasil panennya tak laku di pabrik. Alasannya, kebun kelapa sawit milik Eni berada di kawasan lindung.
Kalaupun kemudian tengkulak akhirnya mau membeli, hanya separuh harga. “Gimanalah saya mau hidup kalau kejadiannya seperti ini,” wajah Eni nampak murung saat berbincang dengan gatra.com di acara halal bi halal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Aspekindo) di Pekanbaru, Minggu (23/7). Kebetulan Eni anggota.
Eni tak sendirian meratapi nasib seperti itu. Dari 1,97 juta hektar kebun petani kelapa sawit yang tergabung dalam Aspekindo, 30 persen hasil panen ditolak masuk pabrik.
“Hitungan kasar saja, dalam satu bulan ada 2,36 juta ton hasil panen petani ditolak. Kalau dihitung duit, ini setara dengan Rp2,6 triliun. Gimana petani nggak klenger,” kata Ketua DPD Aspekindo Riau, Gulat Medali Emas Manurung, Minggu (23/7) malam.
Gulat merinci, sampai saat ini ada 714 ribu kepala keluarga petani kelapa sawit yang menjadi anggota Aspekindo. Mereka tersebar di 12 kabupaten/kota yang ada di Riau.
“Di Riau ada 4,2 juta hektar kebun kelapa sawit. Sebanyak 47 persen adalah milik petani. Lantaran mereka tersebar, kasus semacam ini tidak begitu diketahui publik. Tapi beginilah persoalan yang terjadi sekarang,” katanya.
Sebab petani kata Gulat masih bergantung dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sementara, PKS milik perusahaan sudah lebih sering menolak hasil panen petani lantaran hasil panen kebun sudah mencukupi quota pabrik.
Peraturan baru tentang perlindungan gambut pun ikut mendera para petani. Surat edaran Kapolda Riau yang melarang PKS menerima hasil panen sawit dari kawasan hutan, menambah penderitaan petani.
“Sebab surat edaran itu dimanfaatkan oknum tertentu untuk menakuti petani. Padahal belum tentu sawit petani itu berasal dari kawasan hutan ataupun kawasan lindung gambut,” kata Gulat.
Persoalan yang paling menohok, petani punya kekuatan untuk boleh membangun PKS lantaran kesandung regulasi. Sebab di peraturan yang ada kata Gulat, syarat untuk mendirikan PKS harus ada satu hamparan kebun yang hasilnya bisa memenuhi minimal 60 persen kebutuhan pabrik.
“Syarat inilah yang tidak bisa kami penuhi. Sebab kebun petani itu berpencar-pencar. Tidak satu hamparan. Dulu masih boleh mendirikan PKS tanpa kebun. Tapi beberapa tahun belakangan tidak boleh lagi,” ujar Gulat.
Gulat mencontohkan di Dumai. Di sana ada 92 ribu hektar kebun sawit. PKS yang menampung hasil panen lahan seluas itu hanya ada dua unit. “Mestinya ada 10 PKS untuk menampung hasil panen lahan seluas itu. Lantaran hanya ada dua, PKS sering kelebihan quota. Alhasil, petani harus menempuh jarak sekitar 200 kilometer untuk menjual hasil panennya ke PKS lain,” terang Gulat.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Aspekindo, Anizar Simanjuntak yang hadir dalam acara halal bi halal itu mengaku miris menengok kondisi petani kelapa sawit di Riau.
Menurut dia, mestinya PKS menerima hasil panen petani dan itu wajib. Itulah makanya kata Anozar, syarat pendirian PKS tadi hamparan kebun memenuhi 60 persen kebutuhan PKS. Sisanya dipasok petani.
“Saya akan menghadap Dirjen untuk meminta supaya boleh mendirikan PKS tanpa kebun. Saya pikir ini solusinya. Kalau tidak, petani akan menderita terus,” katanya.