DEFORESTASI atau laju kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya terjadi pada hutan hujan tropis. Kerusakan hutan mangrove pun tidak kalah pesat dibanding dengan hutan tropis. Padahal, hutan mangrove atau bakau sangat bermanfaat untuk menjaga erosi dan abrasi pantai.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yakni 108 ribu km. Karena itulah, keberadaan hutan mangrove sangat berguna untuk menjaga stabilitas daerah pesisir, apalagi yang sering diterjang ombak. Tidak hanya itu, hutan mangrove pun kini menjadi destinasi wisata. Sebut saja hutan mangrove di Jawa Timur, Bali, juga Lampung Timur.
Keberadaan hutan mangrove di Indonesia mencapai luasan 3,616 juta hektare yang tersebar di sisi barat dan timur Pulau Sumatera (417 ribu ha), pantai utara Pulau Jawa (34,4 ribu ha), pesisir Pulau Kalimantan (165 ribu ha), pesisir Sulawesi (53 ribu ha), bagian barat Pulau Papua (2,943 juta ha), dan Bali serta Nusa Tenggara (3.700 ha). Luasan hutan mangrove ini merupakan terluas di dunia, melebihi Brasil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha), dan Australia (0,97 ha).
Mirisnya, dari luasan 3,6 juta ha lebih hutan mangrove Indonesia tersebut, Dirjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan 1,81 juta ha dalam kondisi rusak. Faktor manusia seperti alih fungsi lahan menjadi area tambak, perkebunan, pembangunan infrastruktur, permukiman penduduk, dan penebangan liar menjadi penyebab habisnya hutan mangrove di Nusantara.
Tidak terkecuali di pesisir Lampung. Keberadaan hutan mangrove sebagai green belt (sabuk hijau) pesisir Kota Bandar Lampung di pesisir Teluk Lampung, mulai dari Kecamatan Panjang hingga Telukbetung kini pun tinggal kenangan. Reklamasi pantai membabat habis tanaman-tanaman mangrove di sana. Rendahnya pengawasan pemerintah, menjadikan aktivitas manusia tidak terkendali hingga merusak lingkungan.
Sebagai negara yang memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia, sudah sepatutnya Indonesia terus berupaya menjaga kelestarian hutan mangrove-nya. Minimnya anggaran pemerintah untuk merehabilitasi mangrove per tahun, membutuhkan campur tangan pihak luar, terutama pihak luar, termasuk masyarakat.
Pemerintah melalui Permenko Perekonomian No 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional menargetkan rehabilitasi 65 ribu hektare per tahun sampai dengan tahun 2045 yang dilaksanakan kementerian/lembaga, BUMN, swasta, dan masyarakat.
Namun, rehabilitasi saja belum cukup, jika perusakan hutan mangrove terus berlanjut. Sebab itu, dibutuhkan kesadaran bersama untuk mempertahankan keberadaan mangrove di pesisir pantai.
Harus dipahami bersama mangrove adalah benteng alami dari serangan abrasi pantai. Bahkan, bencana tsunami bisa diredakan jika vegetasi mangrove terjaga baik. Mangrove juga memiliki nilai ekonomi karena menjadi ekosistem bagi ikan, udang, dan kepiting. Pelestarian hutan mangrove bukan hanya menjaga lingkungan, melainkan juga berpotensi sebagai lokasi ekowisata. Selain itu, mangrove berperan dalam mitigasi perubahan iklim global.