Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengungkapkan kegeramannya atas kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang masih menerbitkan izin kepada pemilik Berca Group, Siti Hartati Tjakra Murdaya.
Hal ini lantaran izin tersebut diperoleh Hartati lantaran menyuap Bupati Buol, Amran Batalipu. Syarif menyatakan, kebijakan KLHK yang tetap memberikan izin meski melalui praktik suap tersebut telah mencederai semangat pemberantasan korupsi.
“Setelah yang bersangkutan itu bebas, lahan itu tetap lost (diberikan). Padahal itu diperoleh dengan cara suap. Ini bagaimana KLHK, harusnya kan izinnya dicabut,” kata Syarif dalam diskusi “Korupsi Sumber Daya Alam” di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (25/1).
Dalam perkara ini, Amran divonis pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp 300 juta. Sementara, Hartati yang terbukti memberi suap divonis dua tahun penjara dengan denda Rp 150 juta.
“Bagi Hartati Murdaya Rp 150 juta ‘nih saya kasih Rp 150 juta: tetapi Undang-Undang kita itu memang kalau pemberi maksimum lima tahun dan dendanya maksimum Rp 1 miliar. Saya kurang tahu kenapa dulu pengadilan memutuskan seperti itu,” kata Syarif.
Syarif menuturkan, suap yang diterima Amran dalam memberikan izin tersebut dipergunakan untuk kepentingan Pilkada yang diikutinya. Pengungkapan kasus ini, kata Syarif mempertaruhkan nyawa sejumlah penyidik KPK.
“Waktu itu dia memberikan izin prinsip untuk kampanyenya jadi bupati. Ketika dia ditangkap, penyidik saya hampir meninggal waktu itu karena apa? Sopirnya itu dia mau tabrak semuanya karena di hutan, terjadi di hutan,” ungkap Syarif
Syarif menegaskan, tetap diberikannya izin kepada Hartati sangat tidak adil. KLHK, tegasnya, sudah seharusnya mengevaluasi izin tersebut karena didapat melalui suap.
“Itu tidak bisa diterima oleh KPK. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus intropeksi soal itu. Harusnya izin itu tidak jadi karena didapat dengan menyuap,” katanya.
Tak hanya Amran, Syarif menyebut setidaknya terdapat sekitar 20 pejabat yang diproses KPK karena terbukti korupsi di sektor SDA. Dikatakan, 20 pejabat yang telah diproses itu hanya sebagian kecil dari banyaknya pejabat yang menjual murah SDA untuk kepentingan pribadi.
Padahal, katanya, korupsi SDA tidak hanya soal keuangan negara, namun juga kegagalan pemerintah dalam mengelola SDA yang sejatinya untuk kemakmuran rakyat.
“Jadi, korupsi Sumber Daya Alam bukan hanya soal nilai keuangan negara tetapi kegagalan pengelolaan Sumber Daya Alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mengapa itu penting karena itu bukan hanya hari ini saja, Sumber Daya Alam Indonesia itu juga untuk masa depan,” kata Syarif.