Aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim butuh dukungan pembiayaan yang memadai. Kolaborasi pemerintah, investor, dan organisasi masyarakat sipil bisa menjadi solusi. Demikian terungkap saat diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke- 24 di Katowice, Polandia, Senin (10/12) waktu setempat.
Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kantor Menteri Koodinator bidang Perekonomian Prabianto Mukti Prabowo menyatakan, Indonesia mengembangkan skema perhutanan sosial sebagai salah satu upaya pengendalian perubahan iklim. Melalui skema ini, masyarakat diberi akses untuk memanfaatkan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Pengembangan perhutanan sosial sekaligus juga menjadi jembatan masyarakat di sekitar hutan untuk memperoleh kesejahteraan.
“Tersedianya akses legal kepada sumber daya hutan berarti membuka peluang beragam usaha dan meningkatkan ketahanan pangan. Ini bisa mengurangi sensitivitas rakyat terhadap dampak buruk perubahan iklim,” kata Prabianto.
Prabianto menuturkan, pengembangan perhutanan sosial butuh dukungan pembiayaan. Salah satu potensi yang sedang digali pemerintah adalah penerbitan surat utang hijau (green bonds). Dana yang diperoleh kemudian dikucurkan dengan pola pembiayaan terpadu (blended financing) yang melibatkan dana publik atau dana investasi langsung.
“Green bonds menjanjikan nilai pengembalian investasi yang menguntungkan bagi investor dan berdampak positif bagi lingkungan. Ujungnya adalah stabilitas finansial secara nasional,” ucapnya.
Untuk diketahui, Indonesia sudah menerbitkan surat utang hijau syariah (green sukuk) senilai 1,2 miliar dolar AS. Penerbitan ini diklaim sebagai sukuk hijau negara pertama di dunia dengan investor yang tersebar di seluruh dunia, yaitu 32% pasar negara-negara Islam, 25% pasar Asia, 15% Uni Eropa, 18% Amerika Serikat, dan 10% Indonesia.
Diperkirakan kebutuhan pembiayaan untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tahun 2015-2020 mencapai Rp 1.065 triliun atau Rp 213 triliun per tahun. Sedangkan dana yang dialokasikan untuk aksi mitigasi dan adaptasi 2015-2019, adalah Rp 728 triliun.
Sementara, Direktur Eksekutif Yayasan Belantara Sri Mariati menuturkan, pihaknya mengembangkan jejaring yang melibatkan pemerintah, swasta dan organisasi sipil untuk membiayai aktivitas pengendalian perubahan iklim. Terhadap pendanaan yang tersedia, Yayasan Belantara juga mendorong sebagian pendanaan untuk ditempatkan pada dana abadi.
Cici, demikian panggilan akrab Sri Mariati, mengatakan, sejumlah proyek yang dijalankan saat ini memanfaatkan pendanaan kolaborasi dari jejaring yang dibangun. “Salah satunya adalah pengembangan ekowisata Sembilang di Sumatera Selatan. Pengunjung bisa memanfaatkan kapal wisata untuk mendatangi Taman Nasional Sembilang,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Kehati Riki Frindos mengemukakan pendanaan untuk aktvitas pengendalian perubahan iklim juga bisa diperoleh dari pasar uang. Dia menuturkan, pada tahun 2009 pihaknya mengembangkan Indeks SRI-Kehati yang merupakan kerja sama dengan PT Bursa Efek Indonesia dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati).
Riki menjelaskan, Indeks SRI-Kehati dimaksudkan untuk memberikan pedoman berinvestasi di pasar modal dengan benchmark memuat kriteria emiten yang memiliki kinerja baik dan kesadarannya terhadap pelestarian lingkungan dan sosial.
“Indeks SRI-Kehati juga menjadi indeks hijau (green index) pertama di Asia dan masih satu-satunya di Indonesia yang bertujuan untuk menciptakan sarana bagi pengusaha untuk menyelamatkan bumi,” ucapnya.
Sementara itu, Senior Policy and Technical Advisor for the Climate and Forest UNDP (Badan PBB tentang Pembangunan) Danae Maniatis juga menekankan pentingnya kolaborasi di antara semua aktor dalam pengendalian perubahan iklim.