Para peneliti di Indonesia mulai melakukan terobosan teknologi untuk mengurangi laju pemanasan global akibat efek rumah kaca yang semakin membahayakan bumi. Salah satu yang dikermbangkan adalah beberapa pakan ternak sapi dari rumput di kawasan lahan kering.
“Pengembangan teknologi ini dilakukan mengingat seekor sapi bisa menghasilkan 300-500 liter gas metana per hari,” kata Ilmuwan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), I Made Tasma, kepada Beritagar.id di sela-sela Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB di Sharm El Sheikh, Mesir, Selasa (27/11/2018).
Made, yang menjadi anggota delegasi Indonesia dalam konferensi itu, menjelaskan teknologi yang sedang dalam pengujian ini memang bertujuan mengurangi gas metana yang dihasilkan dari proses makanan ternak sapi.
“Jadi dengan adanya isu pemanasan global tersebut, kemudian membuat kita berpikir bagaimana menciptakan pakan ternak sapi yang rendah metana,” tuturnya.
Menurut Made, pelaksanaan manajemen peternakan yang kurang baik justru akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan biodiversitasnya pada masa depan. Apalagi hampir 90 persen usaha peternakan di Indonesia ini dijalankan dengan sistem tradisional yang belum sadar terhadap isu pemanasan global dan gas metana.
“Atas dasar itulah kemudian Balitbang Kementan RI melakukan inovasi manajemen pakan sapi. Karena untuk pakan ayam sudah kita distribusikan. Khusus makanan sapi dalam tahap pengembangan,” lanjutnya.
Indonesia memiliki dua kebijakan dalam memproduksi gas metana; dari ternak yang dikandangkan dan ternah yang dilepas liarkan. Ternah yang dikandangkan mudah ditemui di pulau Jawa dan Bali, sementara yang dilepas liarkan ada di di Nusa Tenggara Timur meski skalanya rendah.
“Saat ini litbang juga sedang memikirkan integrasi perkebunan sawit dengan ternak sapi. Setiap ampas perkebunan sawit setelah panen akan diberikan kepada sapi.
“Dan yang menjadi pakannya adalah sisa-sisa kelapa sawit, dari pelepahnya. Menurut hasil studi litbang, pelepah sawit itu kaya nutrisi,” ujar Made.
Jika teknologi ini berhasil, tambah Made, para peternak Indonesia akan mendapat manfaat. Bahkan para peternak bisa mendapatkan kualitas sapi bagus dari Indonesia dengan langsung membeli gen-gen sapi dengan kualitas daging terbaik.
Konsumsi daging sapi masih minim
Di sisi lain, Made mengemukakan tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia belum masih minim dan kebutuhan dengan pasokan belum cukup seimbang. Itu sebabnya daging sapi di Indonesia saat ini banyak diimpor dari luar negeri, salah satunya dari Australia.
Indonesia sebenarnya juga mengekspor sapi ke luar negeri dan cukup menguntungkan. Namun, ekspor tersebut belum skala besar.
Padahal, lanjut Made, kualitas daging sapi Indonesia sangat baik jika dibandingkan dengan sapi-sapi impor yang masuk ke Indonesia. “Untuk daging ayam, kita sudah bawa keluar. Juga bibit yang bagus di litbang sudah didistribusi ke masyarakat,” katanya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 menunjukkan impor daging sapi dari Australia mencapai 85 ribu ton atau sekitar 53 persen dari total impor 160.197 ton.
Adapun nilai impor daging sapi asal Negeri Kanguru itu mencapai $296,3 juta AS atau setara Rp4 triliun dari total nilai impor Rp7,7 triliun.
Sementara data konsumsi daging sapi yang bersumber dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas BPS pada Maret 2017 menyebutkan konsumsi daging sapi per kapita pada 2016 sebesar 0,417 kilogram, atau sama dengan konsumsi daging sapi per kapita pada 2015.