Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tak pernah hilang dari Indonesia. Di Provinsi Riau, misalnya, insidennya bisa berlangsung sepanjang tahun meski intensitasnya bervariasi.
Bahkan pada tahun ini, ancaman karhutla di seluruh Indonesia diperkirakan bakal lebih tinggi dibanding 2016. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, peningkatan ancaman disebabkan oleh situasi El Nino — bukan La Nina seperti tahun lalu.
Sebenarnya, kendati ancaman diperkirakan meningkat, jumlah titik api di kawasan karhutla sejauh ini justru lebih sedikit dibanding periode yang sama pada 2016. Namun 2017 masih jauh dari usai dan periode kehadiran musim hujan masih belum ketahuan.
Pekan lalu (24/7/2017), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menangkap 73 titik panas yang berpotensi menjadi karhutla. Seluruh titik panas ada di pulau Sumatera.
Sementara pada Jumat (4/8) ini, menurut data satelit LAPAN yang digunakan BMKG, jumlah titik panas bermunculan di seluruh Indonesia. Sembilan titik panas terpantau di Sumatera, dua titik panas di Kalimantan, satu di Maluka dan Papua, empat di Sulawesi, dan delapan di kawasan Nusa Tenggara Barat-Timur.
Sementara menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang dilansir Tempo.co, 60 persen dari 102 titik api di seluruh Indonesia berpotensi menjadi api.
Lantaran situasi itu, pemerintah pun bersiap melakukan antisipasi. Tidak heran Wiranto memimpin rapat koordinasi dengan seluruh pihak berwenang di kantornya, di Jakarta, pada Kamis (3/8).
Antara lain dari rapat itu, pemerintah membenahi prosedur pemadaman lewat darat dan udara (water bombing). Dibentuk pula satuan tugas (satgas) di daerah rawan karhutla.
“…ditemukan tadi misalnya masalah penggunaan water bombing dari pesawat yang kita sewa dari luar apakah ada izin? Itu yang kita atasi bersama,” tutur Wiranto.
Salah satu kunci antisipasi untuk menurunkan jumlah karhutla, pemerintah akan mempertimbangkan pemberian insentif pupuk cair kepada para petani atau pemilik lahan.
Pemerintah berharap pemberian pupuk itu akan mengalihkan kebiasaan petani yang kerap membakar lahan demi peningkatan produksi atau membuka lahan baru. Perusahaan besar pemilik perkebunan juga akan diserahi tanggung jawab memberi penyuluhan kepada para petani dan menyediakan pula pupuk cair.
Ketua Badan Restorasi Gambut, Nazir Foead, mengatakan bakal ikut melakukan sosialisasi. “Kalau orang membakar karena kriminal, harus (ada) penegakan hukum. Tapi, untuk petani, kita sosialiasi cara membuka lahan tanpa pembakaran,” ujar Nazir.
Sosialisasi hal itu, menurut Wiranto, akan melibatkan pula masyarakat adat. Jadi masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan bakal diminta mengubah kebiasaan membuka ladang dan pertanian dengan membakar.
Wiranto, yang juga pemimpin Partai Hanura, mengakui ini (mengubah kebiasaan) bukan pekerjaan mudah. “…tapi harus dilakukan,” katanya dikutip Kompas.com.
Solusi ini menurut Wiranto, dalam Antaranews, karena titik panas pada 2017 justru disebabkan lebih banyak oleh manusia. Dalam hal ini para petani dan pekerja perkebunan.
Cara pemerintah untuk mendekatkan diri dengan masyarakat di sekitar hutan dan lahan ini sejalan dengan opini Dr. Djaimi Backe dari Pusat Penelitian Perkebunan Gambut dan Pedesaan Universitas Riau soal solusi efektif menangani karhutla.
Bahkan menurut Djaimi, seperti dilaporkan RMOL.co, pemerintah perlu membentuk satgas yang diisi oleh masyarakat setempat. Kebetulan Pusat Penelitian Perkebunan Gambut dan Pedesaan Universitas Riau bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki program percontohan masyarakat peduli api yang dimulai sejak tahun lalu.
Salah satu lokasinya di Kabupaten Siak yang memang cukup rawan karhutla. Masyarakat di sana kemudian dibagi ke dalam beberapa kelompok dan membuat rencana pemanfaatan lahan gambut untuk ekonomi. Ada pula satgas pengendalian karhutla.
Sementara cara kedua adalah dengan memberi pencerahan hukum soal UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (berkas pdf). Maklum masyarakat di sekitar hutan Riau salah mengartikan regulasi itu yang antara lain mengizinkan pembakaran lahan maksimal dua hektare per kepala keluarga.
Sebenarnya di Riau ada kearifan lokal bernama budaya Merun. Budaya itu punya tata cara tersendiri untuk praktik pembakaran hutan, misalnya hanya areal lahan yang akan dibuka yang dibakar.